Selasa, 21 Juni 2011

Siapakah Ibu Siami??

Sistem pendidikan Indonesia, sepertinya tidak pernah kering dengan pemberitaan yang menyita perhatan kita. Beragam tontonan kasus yang membuat kening kita berkerut, membuktikan bahwa fondasi sistem pendidikan nasional kita memang sangat keropos. Mulai dari kasus gagalnya puluhan bahkan ratusan siswa untuk melanjutnya sekolah hanya karena mahalnya biaya, hingga kasus korupsi pendidikan serta praktek ketidakjujuran (contek massal), yang sekarang sedang hangat diperbincangkan dimana-mana. Ibu Siami,demikian nama yang sangat populer, paling tidak seminggu belakangan ini. Keberaniannya dalam membongkar kasus contek massal saat pelaksanaan Ujian Nasional bulan Mei lalu. Warga Jl Gadel Sari Barat, Kecamatan Tandes, Surabaya ini, tidak menerima ketika Guru SDN Gadel 2 Surabaya memaksa anaknya Alif, untuk memberikan contekan kepada murid lainnya disekolah tersebut. Walhasil, Ibu Siami akhirnya melaporkan Guru tersebut ke Dinas Pendidikan setempat, yang pada akhirnya mendapat perhatian yang cukup luas dari media dan masyarakat. Tindakan Ibu Siami tersebut, berdampak pengusiran dirinya dari kampung halaman, akibat desakan warga yang tidak menerima jika anak mereka harusnya tidak lulus ujian akibat kaporan Ibu Siami tersebut. Akan tetapi jika kita menyimak dengan seksama kasus Ibu Siami dan anaknya Alif tersebut. Pertama, bahwa kasus Ibu Siami ini cenderung hanya ditempatkan pada persolan prilaku dan moralitas semata. Dimana media dan pemberitaan, hanya memposisikan kasus ini kepada kejadian contek massal yang terjadi di SDN 2 Gadel, Surabaya tersebut. Padahal jika kita ingin menelisik lebih jauh, sesungguhnya prilaku contek massal merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan dari gagalnya sistem penddikan kita di dalam membentuk dan membangun karakter murid. Permasalahan ini seharusnya didudukkan pada aspek kritik terhadap penataan dan pengelolaan sistem pendidikan nasional, yang mencakup pola pengajaran, kurikulum serta sisi ekonomisnya. Tidak semata-mata menonjolkan tindakan contek massal, namun justru menafikan pola dan sistem yang membangunnya. Kedua, jika kita menarik garis lurus, maka akar persoalan sesungguhnya dari kasus Ibu Siami ini adalah, ketidakmampuan sistem pendidikan kita dalam mencapai sasaran dan tujuan pendidikan sebagai media mencerdasakan anak Bangsa serta membangun mental dan watak yang unggul dalam segala hal. Dan tentu saja, evaluasi kita akan berujung kepada siapa yang harus bertanggung jawab akan kegagalan tersebut. Memang benar, secara sosial itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Namun demikian, Negara melalui Pemerintah seharusnya mendapat porsi pertanggung jawaban yang 1000 kali lebih besar. Namun justru ini yang seakan kita lupakan, dimana mata bedil kasus contek massal ini hanya mengarah kepada Guru dan masyarakat yang mengusir Ibu Siami. Seharusnya kasus contek massal tersebut, juga menjadi bagian dari tanggung jawab Pemerintah, akibat gagalnya pola dan sistem pendidikan yang diterapkan selama ini. Anehnya, justru tudingan ini bahkan sama sekali tidak menyentuh pihak Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional. Lebih jauh, dalam sebuah kesempatan, Menteri Pendidikan Nasiona, M. Nuh dengan entengya menyimpulkan bahwa Pelaksanaan Ujian Nasional di SDN 2 Gadel, Surabaya tersebut, tidak terjadi contek massal sebagaimana yang dilaporkan oleh Ibu Siami. Ini jelas merupakan upaya Pemerintah untuk lepas tangan dari kasus tersebut. Sebuah situasi yang sangat ironi, dimana pihak yang paling berwenang-pun, justru berusaha lari dari tanggung jawab yang ditugaskan dan diamanahkan dalam konstitusi kita. Pemerintah memang cenderung terlihat bebal dengan kritikan. Misalnya saja soal desakan penolakan atas Ujian Nasional sebagai patokan tunggal dalam penentuan kelulusan siswa. Bukankah kritikan ini sudah muncul sejak beberapa tahun yang lalu? Namun Pemerintah tetap kekeuh untuk tetap melakukan praktek pola dan sistem yang kurang lebih sama. Ujian Nasional pada akhirnya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi siswa. Bahkan dapat kita pastikan, bahwa peristiwa contek massal yang terjadi di SDN 2 Gadel, Surabaya dan sekolah lainnya tesebut, adalah buah dari ketakutan besar pada siswa, yang begitu khawatir tidak lulus yang akhirnya dianggap aib dilingkungannya. Seharusnya ini menjadi perhatian serius dari Pemerintah, jika tidak ingin pendidikan dan kualitas generasi kita semakin jauh tertinggal dari Negara lain. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, dan tentu saja terutama bagi Pemerintah yang hinggal kini gagal dalam mengemban amanah tersebut.

Lalu siapa ibu siami? jika kita sadar, beliau adalah petasan bagi kita. Yang menunjukkan perlunya sistem karakter yang selama ini ada diperbaiki.

RSBI = 'sekolah bertara(i)f Internasional'

Beberapa tahun terakhir ini, di Indonesia marak adanya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau biasa disingkat RSBI. Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional bahkan merancangkan model sekolah tersebut di beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini merupakan fenomena yang luar biasa. Banyak instansi sekolah yang berlomba, berharap ditunjuk sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Berdasarkan data Kementrian Pendidikan Nasional, pada tahun 2009 program RSBI didikuti 136 sekolah dasar, 300 sekolah menengah, 118 sekolah kejuruan, serta 320 sekolah menehngah atas.

Berbagai respon bermunculan, baik pro maupun kontra. Bagi yang merasa pro, RSBI ini diharapkan dapat menyetarakan kualitas hasil output pendidikan Indonesia dengan luar negeri.Menurut paham mereka, sekolah yang bermutu dan berkualitas sudah pasti akan mahal karena memerlukan biaya tinggi. Lain lagi dengan yang kontra, RSBI layaknya hotel berbintang lima, tapi masih sekedar papan namanya saja. Mutu dan isinya sama saja. RSBI hanyalah sekedar ‘Rintisan Sekolah Berbiaya Internasional’.

RSBI awalnya memiliki konsep sebagai usaha meningkatkan mutu pendidikan, Namun dalam praktiknya, label RSBI dimanfaatkan sebagai alat penarikan dana dari masyarakat oleh instansi yang berkepentingan. Tak jaraqng tanpa laporan penggunaan yang transparan. Mestinya ‘transparan senantiasa melekat pada RSBI. Dalam hal ini, RSBI layak dilakukan evaluasi karena program tersebut sudah berjalan lebih dari lima tahun.

Peningkatan mutu dengan dilaksanakanya program RSBI dapat dimaksimalkan yaitu dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar dengan tidak mengesampingkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa dalam merintis arah kehidupan sangat ditentukan oleh kemampuan dan tingkat pendidikan yang dimiliki, dimana sampai saat ini untuk memasuki dunia kerja nantinya diutamakan seseorang yang mempunyai berbagai keahlian dan kemampuan. Salah satu yang sampai saat ini penting adalah kemampuan berbahasa inggris sebagai bahasa pengantar, dalam arti mampu aktif barbahasa ingris. Namun tidak mengesampingkan pentingnya kepiawaian dalam hal prngoprasian computer, bahasa asing lain, dan skills yang lainnya.

RSBI di Indonesia saat ini menurut saya masih belum melalui riset terpadu sehingga masih mencari-cari bentuk, konsep dan model. Akibat banyak daerah yang membangun RSBI dan latah dengan kata ‘Internasional’ tanpa pernah mengerti dan memenuhi tanggung jawab penyandangnya. Oleh sebagian mereka, kata ‘internasional’ dipahami bahwa RSBI menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas, namun dari semua pihak, baik pendidik dan anak didik belum paham dan mantab dengan bahasa inggris itu sendiri. Padahal di Jepang, bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan terbukti gagal meningkatkan prestasi siswa.

Dalam konteks ini sangat jelas, bahwa pemerintah bukan haya harus memperbaiki konsep dan implementasi RSBI, tetapi juga masalah regulasi biaya , kompetensi guru, kurikulum, pemerataan akses pendidikan bermutu untuk semua. Kalau tidak, RSBI akan dikatakan sebagai sekolah yang mengalami kekacauan dalam proses belajar mengajar dan gagal secara didaktif. Sekolah internasional yang menyediakan gengsi dan mimpi-mimpi.

author: EVA ADITA N.
4001410062

Senin, 20 Juni 2011

aliran pendidikan

File name: PIP.pptx
File size:654.74 KB

http://www.fileserve.com/file/EM4FCWW

PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN


oleh VIRI ATMATIKA PUJIASTUTI, 5401410125

1.Peran Pendidikan dalam Pembangunan
 Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
2. Hubungan pendidikan dan pembangunan
A.Esensi Pendidikan dan Pembangunan serta Titik Temunya
Status pendidikan dan pembangunan masing-masing dalam esensi pembangunan serta antara keduanya.

1.Pendidikan merupakan usaha untuk diri manusia.sedangkan pembangunan merupakan usaha dari diri manusia.
2.Pendidikan menghasilkan Sumber Daya Manusia yang menunjang pembangunan sedagkan pembangunan dapat menunjang pendidikan (pembinaan, penyediaan saran dan seterusnya).
B.Sumbangan Pendidkan pada Pembangunan.
Sumbangan Pendidikan terhadap pembangunan dapat dilihat dari berbagai segi di antarany :
1.Segi Sasaran PendidikanPendidikan disini bertujuan untuk mencetak manusia yang menjadi sumber daya pembangunan yang manusiawi.
2. Segi lingkungan Pendidikan
Klasifikasi ini menunjukkan peran pendidikan dalam berbagai lingkugan. Yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkugan masyarakat ataupun dalam sistem pendidikan prajabatan dan dalam jabatan.
3. Segi Jenjang Pendidikan
jenjang pendidikan meliputi pendidikan dasar (Basic Education), pendidikan lanjutan menengah dan pendidikan tinggi.
4. Segi Pembidangan Kerja atau Sektor Kehidupan.
Pembidangan kerja menurut sektor kehidupan meliputi bidang Ekonomi, hukum, sosial, politik, keuangan, perhubungan, komunikasi, pertanian, pertambangan, dan pertahanan.

C.Pembangunan Sistem Pendidikan Nasional.
Bagian ini akan mengemukakan dua hal yaitu : mengapa sistem pendidikan harus di bangun dan wujud sisdiksos.

KURANGNYA KESADARAN MASYARAKAT TENTANG PENDIDIKAN

Oleh Elida Dwi Yunita , 5401410124

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Tujuan pendidikan sejati tidaklah hanya mengisi ruang-ruang imajinasi dan intelektual anak, mengasah kepekaan sosialnya, ataupun memperkenalkan mereka pada aspek kecerdasan emosi, tapi lebih kepada mempersiapkan mereka untuk mengenal Tuhan dan sesama untuk pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan. Selain memiliki tujuan yang pasti pendidikan juga memiliki peranan yang penting untuk menunjang kehidupan kita sehari-hari khususnya untuk para pelajar dan generasi muda Indonesia. Pendidikan sudah berperan dalam kehidupan seseorang sejak usia dini. Peranan pendidikan adalah suatu peranan yang menentukan kualitas pendidikan seorang anak di usia dini. Begitu juga dengan pengaruhnya pada pembentukan karakter dan perkembangan kepribadian seorang anak.
Kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pendidikan dikarenakan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan pendidikan, dalam arti menyelesaikan pendidikan formal hingga mendapatkan gelar sarjana, yaitu kurang lebih selama 16 tahun. Padahal belum tentu setelah seseorang mendapat gelar sarjana maka akan langsung mendapatkan pekerjaan seperti yang kita inginkan, faktanya sekarang ini banyak sarjana yang menganggur akibat kurangnya lapangan kerja dan sangat cepatnya pertumbuhan penduduk Indonesia pertahunnya. Selain dikarenakan lamanya waktu untuk menuntaskan pendidikan hingga mencapai gelar sarjana, biaya sekolah untuk mendapatkan pendidikan wajib 9 tahun saja sudah membutuhkan biaya yang cukup bersar. Memang untuk SD (Sekolah Dasar) dan SMP (Sekolah Menengah Pertama) sudah tidak dikenankan iuran sekolah tiap bulannya dikarenakan adanya program BOS (Biaya Operasianal Sekolah), tetapi mereka juga tetap harus membeli buku-buku pelajaran dan baju seragam yang hanya dijual di sekolah seperti, baju olahraga, batik dll. Sedangkan untuk tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) selain harus membayar iuran sekolah tiap bulan, mereka juga wajib membayar uang pangkal yang jumlahnya sudah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Khususnya untuk murid SMA swasta, mereka harus membayarnya dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan SMA Negeri.
Ditambah lagi kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia terutama yang berekonomi menengah kebawah. Para orangtua kurang menyadari bahwa pendidikan anak-anaknya sangatlah penting. Menurut fakta yang ada dan yang sering kita lihat maupun yang kita dengar anak-anak ekonomi menengah kebawah terutama di kota-kota besar mereka berada di jalan-jalan untuk mengamen, mengemis, dan bekerja serabutan, hal tersebut terjadi disebabkan perintah dari orangtuanya dan mereka tidak berani menentang perintah orangtua mereka. Para orang tua mereka melakukan hal tersebut karena sudah putus asa untuk mencari pekerjaan tambahan yang lebih baik.
Oleh sebab itu para orang tua mereka memerintah anaknya untuk mengamen dan melakukan hal-hal tersebut. Tetapi tidak semua anak-anak itu mengamen dikarenakan perintah orangtua mereka. Melainkan ada anak yang sadar akan kekurangan ekonomi keluarganya, sehingga memaksa mereka untuk bekerja sambil bersekolah. Ada kalanya anak yang memiliki orang tua yang berekonomi menengah keatas justru menyepelekan dan menyia-nyiakan pendidikan yang telah diberikan orang tua mereka. Hal-hal tersebut yang menyebabkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya pendidikan Indonesia menjadi berkurang.
Sedangkan di daerah pelosok atau terpencil, kesadaran untuk melanjutkan pendidikan memang masih sangat kurang. Mereka lebih memilih bekerja daripada melanjutkan pendidikan. Kebanyakan faktor yang disebabkan adalah kurangnya kesadaran pribadi, faktor ekonomi dan faktor sosial budaya. Faktor sosial budaya berkaitan dengan kultur masyarakat yang berupa pandangan, adat istiadat, dan kebiasaan. Para remaja selalu melakukan kontak dengan masyarakat. Pengaruh-pengaruh budaya yang negatif dan salah terhadap dunia pendidikan akan turut berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan remaja tersebut. Remaja yang bergaul dengan teman-temannya yang tidak sekolah atau putus sekolah akan terpengaruh dengan mereka. Sehingga mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, karena teman-temannya juga tidak melanjutkan sekolah. Mereka memilih untuk mencari uang dengan alasan membantu orang tua, padahal orang tua mereka menginginkan anak-anaknya melanjutkan sekolah agar mempunyai masa depan yang jelas, “Biarlah orang tuanya bodoh, yang penting anaknya pintar, dan mempunyai masa depan.” Itulah semboyan orang tua yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi kehidupan dan masa depan anaknya. Ada juga orang tua yang belum sadar akan pentingnya pendidikan, anaknya mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan tetapi orang tuanya melarang, dengan alasan tidak mempunyai uang untuk membiayai sekolah, sedangkan kebutuhan yang belum terpenuhi masih banyak, “buat apa sekolah tinggi, toh pada akhirnya kerja di pabrik atau jadi kuli bangunan, nyatanya si A sudah jadi sarjana tetapi sampai sekarang masih menganggur.” Pemikiran-pemikiran seperti itu yang membuat mereka belum sadar akan pentingnya pendidikan. Berhasil atau tidaknya seseorang itu tergantung pada usaha manusia itu sendiri. Namun selain faktor dari orang tua yang memang kurang sadar akan pentingnya pendidikan juga didorong dengan kurangnya informasi yang bisa di akses oleh masyarakat daerah terpencil. Banyak anak-anak yang sebenarnya ingin sekali melanjutkan ke perguruan tinggi namun karena orang tua yang memang tidak setuju untuk kuliah,merekapun juga tidak mencari informasi tentang itu, padahal sekarang ini banyak sekali perguruan tinggi yang membebaskan mereka dari segala biaya selama mereka kuliah, Hal itu sangat disayangkan apalagi bagi mereka yang berprestasi
. Di daerah terpencil memang faktor ekonomilah yang menjadi alasan utama mengapa mereka tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, Mereka mengganggap bahwa untuk makan sehari-hari saja masih sangat pas-pasan apalagi untuk membiayai kuliah yang sangat membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal apabila mereka bisa memanfaatkan beasiswa yang banyak diberikan perguruan tinggi untuk mereka yang berprestasi namun tidak mampu dalam finansial, suatu hari kelak mereka dapat menaikkan ekonomi dan mungkin derajat keluarga mereka dengan pendidikan tinggi dan pekerjaan yang mapan.
Oleh sebab itu kita sebagai generasi penerus bangsa harus lebih mengutamakan kesadaran dalam diri kita sendiri akan pentingnya pendidikan bagi diri kita, bangsa dan Negara. Agar dimasa mendatang kesadaran masyarakat Indonesia dapat lebih meningkat daripada sekarang. Selain itu, orang tua juga memegang peran yang tidak kalah penting dibandingkan kesadaran akan pendidikan dari dalam diri sendiri.
Kita harus membuat komitmen pribadi untuk maju dan terus maju. Kita harus menjaga kesadaran diri dengan menjaga sisitem pendidikan yang ada di Indonesia agar mengarah pada tujuan menciptakan generasi bangsa Indonesia yang produktif bukan yang konsumtif belaka. Selain itu hal yang perlu kita lakukan saat ini adalah, sadar bahwa kita generasi Indonesia harus bisa menciptakan produk diberbagai bidang yang kita tekuni bukan hanya tahu memakai hasil temuan oranglain, apalagi temuan bangsa lain. Mari menciptakan dan bukan menjadi plagiator semata. Orang-orang atau orang tua yang mempunyai jalan pikiran sempit yang menganggap pendidikan tidak penting, mengakibatkan anak-anak mereka yang tidak mengenyam pendidikan formal akan menjadi beban bagi masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu ketentraman masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya pendidikan atau pengalaman intelektualnya, serta tidak memiliki keterampilan yang menopang kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu mulai sekarang tidak ada di dalam kamus generasi muda kita kalau “orang miskin,tidak boleh sekolah apalagi bermimpi” karena dengan keyakinan dan kerja keras ada banyak jalan menuju kesuksesan. DREAMS, BELIEVE AND MAKE IT HAPPEN!! 



Minggu, 19 Juni 2011

KURIKULUM DAN METODE PENDIDIKAN
(Ilam pratitis / 4301410053)
A.    Kurikulum
1.      Pengertian Kurikulum
Kurikulum adalah isi pendidikan yang telah dipilih, disusun dan dirancang atau direncanakan untuk ditransfer (ditransmisi dan ditransformasi) dalam proses pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan. Jadi kurikulum adalah isi pendidikan yang diajarkan (what is taught) atau dididikkan (what is educated). Isi pendidikan itu berupa pengetahuan (knowledge), pemahaman, ilmu, sikap, dan keterampilan. Isi pendidikan tersebut disusun dari apa yang diyakini sebagai baik dan benar, yang bernilai, yang bermanfaat, yang dicita-citakan, oleh masyarakat (keluarga, lembaga/yayasan, bangsa atau Negara) di mana pendidikan itu berada. Dengan demikian kurikulum itu tergantung pada falsafah, pandangan, hidup, ideology, keyakinan, dan sikap masyarakat yang bersangkutan.
2.      Kurikulum sebagai Isi Pendidikan yang Terpilih
Kurikulum pendidikan merupakan masalah pengetahuan, untuk mengetahui apa dan bagaimana, yang terkait dengan keyakinan dan sikap, yang ingin diajarkan kepada anak didik demi tercapainya tujuan yang diinginkan. Pengetahuan itu sangat luas sehingga tidak mungkin semua pengetahuan masuk dalam kurikulum pendidikan. Oleh karena itu kurikulum harus dipilih hingga menjadi isi pendidikan yang terpilih. Masalahnya adalah, criteria apa yang digunakan dalam pemilihan tersebut.
Ada beberapa criteria yang digunakan. Criteria itu antara lain (a) kesesuaian dengan falsafah, pandangan hidup, ideology, keyakinan dan sikap masyarakat, (b) kesesuaian dengan waktu yang tersedia, dan (c) manfaat bagi anak didik.
Falsafah, pandangan hidup, ideology dan keyakinan dan sikap masyarakat, menjadi ukuran dan norma utama dalam pemilihan kurikulum. Kurikulum dipilih untuk mengantarkan anak didik mencapai tujuan pendidikannya. Tujuan pendidikan itu tidak terlepas dari apa yang diyakini sebagai baik dan benar, karenanya merupakan hal yang dicita-citakan dan diharapkan, yang menjadi landasan dalam bersikap dan bertindak.
Waktu yang tersedia, juga dapat menjadi criteria (ukuran, norma) dalam memilih criteria pendidikan. Pada umumnya orang memiliki waktu terbatas untuk melaksanakan pendidikan. Memang, dalam pendidikan ari luas, tidak ada batasan waktu, pendidikan berlangsung secara informal dalam sepanjang hayat, sejak dalam kandungan (bahkan sebelumnya) atau sejak dilahirkan hingga meninggal dunia. Dalam pendidikan arti khusus atau arti sempit, yaitu pengajaran atau pembelajaran disekolah, yang dilaksanakan secara formal, waktu menjadi terbatas dan disesuaikan dengan jenjang atau tingkatannya. Untuk itu diperlukan pemilihan kurikulum yang harus diajarkan.
Manfaat bagi anak didik, merupakan criteria pemilihan kurikulum pendidikan. Secara normative, pendidikan harus berpusat pada anak didik, untuk pertumbuhan dan perkembangan anak didik, demi kepentingan anak didik dan sesuai kebutuhan anak didik. Kurikulum seharusnya membuat anak didik belajar secara bermakna, mampu membelajarkan anak didik hingga menjadi pribadi yang terdidik atau terpelajar, mencapai tujuan pendidikannya. Bagaimana pun apa yang bermanfaat, yang berarti, yang bermakna bagi anak didik itu juga terlalu banyak, maka masalahnya adalah memilih kurikulum yang paling berguna, bermakna bagi anak didik. Apa yang bermakna bagi anak didik itu sendiri ternyata berbeda – beda sesuai dengan sudut pandang masyarakatnya atau ahli pendidikan itu sendiri.
3.      Teori Isi Kurikulum Pendidikan
Masalah utama tentang isi kurikulum pendidikan bukanlah pengetahuan apa yang dimasukkan dalam kurikulum, melainkan landasan dan dasar apa yang dipergunakan untuk mempertahankan kurikulum tersebut. Kurikulum terkait dengan pendidikan arti khusus, yaitu pembelajaran dan pengajaran di sekolah. Di sekolah telah terpilih beberapa subjek (mata pelajaran) sebagai pengetahuan yang diyakini paling bermanfaat dan bermakna, seperti: matematika, ilmu pengetahuan alam, sejarah, geografi, kesenian, dan agama atau moral. Masalahnya, mengapa atau atas dasar apa pengetahuan tersebut diyakini sebagai bermakna dalam pendidikan. Mengapa mata pelajaran atau disiplin ilmu yang satu diyakini lebih bermakna daripada yang lain? Itulah yang menjadi kawasan atau ruang lingkup dari teori kurikulum.
a.      Kurikulum Utilitarian
Kata “utilitarian” secara kasar dapat dimaknai dalam dua arti yang berbeda tetapi terkait, yaitu “bermanfaat” dan “kondusif bagi kebahagiaan umat manusia”.
Kurikulum ini dimasukkan sebagai mata pelajaran berdasarkan keyakinan bahwa mata pelajaran tersebut bermanfaat bagi anak didik. Misalnya, matematika diyakini bermanfaat bagi pekerja, rumah tangga, insinyur dan ilmuwan. Begitu pula dengan mata pelajaran yang lain, seperti sejarah, geografi, seni, moral dan agama. Tentang manfaat dan kebahagiaan juga memiliki makna yang berbeda. Bagi orang – orang yang beragama memaknai manfaat dan kebahagiaan yang berbeda dari orang – orang atheis-materialis. Kembali kepada apa yang telah dipaparkan, bahwa kurikulum merupakan cerminan dari kepentingan masyarakat, ditentukan oleh falsafah, pandangan hidup, ideologi, keyakinan, dan sikap dari masyarakatnya. Jenis dan tingkat perkembangan masyarakat yang berbeda akan memiliki pandangan yang berbeda tentang apa pengetahuan yang bermanfaat dan membahagiakan itu.
b.      Kurikulum untuk Rasionalitas
Adalah isi pendidikan yang dipilih dan ditetapkan untuk menghasilkan pemikiran yang rasional. Kurikulum macam itu telah ada sejak zaman Plato dalam bukunya yang berjudul The Republic (Moore, 1982: 57-59). Dalam buku tersebut kurikulum dirancang untuk menghasilkan manusia yang mampu memahami bentuk – bentuk realitas (kenyataan hidup) yang berada di balik penampilan dunia keseharian. Yang termasuk dalam kurikulum itu antara lain matematika.
Teori kurikulum modern dari P.H. Hirst, meskipun banyak perbedaan yang signifikan, memiliki beberapa persamaan dengan pandangan Plato. Hirst berpendapat bahwa menurut sejarahnya manusia telah mengadopsi cara pandang tertentu terhadap dunia mereka, yang disebut “bentuk – bentuk pengetahuan”. Setiap bentuk memiliki karakteristik  struktur konseptualnya sendiri atau suatu cara menarik kesimpulan yang khas.
Rasionalitas merupakan masalah tindakan yang berdasar pada alasan yang baik, dan alas an yang baik itu akhirnya tergantung pada pengetahuan. Tanpa pengetahuan tentang pengalaman manusia, anak tidak akan mampu bertindak dengan alasan yang baik. Orang yang tidak memahami ilmu pengetahuan tidak akan bertindak secara alamiah dan rasional. Seseorang yang belum menguasai seni, music atau sastra tidak akan mampu mengambil keputusan dalam memilih secara rasional dalam idang tersebut, tidak akan mampu bertindak dengan otonomi rasional. Hal yang sama juga akan berlaku dalam masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan dalam agama dan moral. Dengan demikian, pengetahuan akan menjadi paling bermanfaat, yang menyiapkan anak untuk hidup secara rasional, dengan memberikan landasan intelektual kepada mereka sebagai tindakan yang rasional. Kurikulum tradisional ditetapkan demi kepentingan tersebut.
c.       Kurikulum Warisan
Inti dari pendidikan adalah mengantarkan anak – anak ke dalam tradisi public yang ada melalui pengetahuan. Tradisi public ini dapat dipandang sebagai salah satu warisan, suatu tingkat kehidupan dalam hal mana semua anggota ras manusia mempunyai suatu kepentingan. Tradisi itu adalah kebudayaan, dan kebudayaan terdiri atas intelektual, estetika, moral dan prestasi material manusia dalam sejarahnya yang panjang. Matematika dan ilmu pengetahuan alam merupakan bagian dari warisan ini, demikian pula dengan music dan lukisan., serta arsitektur, demikian pula dengan moralitas dan pandangan religious.
Untuk dapat bergerak bebas di kawasan tersebut, harus menjadi manusia yang berbeda dengan binatang. Manusia mampu memahami situasinya. Anak dilahirkan tidak dengan pemahaman itu. Mereka dilahirkan sebagai manusia, tetapi mereka lebih dilahirkan sebagai “binatang manusia” (human animal). Pendidikan merupakan salah satu upaya mengubah manusia binatang menjadi manusia yang sebenarnya. Dengan kata lain, pendidikan merupakan upaya untuk mengantarkan anak ke dalam system pengetahuan yang membentuk warisan budaya atau tingkat kehidupan. Kurikulum ditetapkan agar mampu melakukan perubahan budaya tersebut atau dapat digunakan untuk melakukan pewarisan budaya tersebut.

B.     Metode Pendidikan
1.      Pengertian
Metode dapat diartikan suatu “cara”, sehingga yang dimaksud dengan metode pendidikan adalah cara – cara yang digunakan dalam proses pendidikan (kegiatan pendidikan, tindakan mendidik) agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Cara itu harus dipahami dan dilaksanakan oleh pendidik. Yang perlu ditegaskan dalam hal ini adalah, bahwa tidak ada metode yang paling baik, dan paling benar untuk semua proses pendidikan. Artinya, setiap metode memiliki cirri khasnya tersendiri, bersifat spesifik, khusus, sehingga pendidik harus memilih secara cermat berbagai pertimbangan.
2.      Pertimbangan dalam Memilih Metode Pendidikan
Fungsi utama metode pendidikan adalah mengantarkan tindakan mendidik untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif (berdaya guna, sangkil) dan efisien (tepat guna, mangkus). Tercapainya tujuan pendidikan ditentukan oleh beberapa factor. Maka factor – factor berikut yang menjadi pertimbangan.
a.       Tujuan yang telah ditetapkan. Metode tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang telah ditetapkan. Jadi tujuan pendidikan turut menentukan metode yang akan digunakan. Tujuan berperan penting dalam menentukan metode pendidikan, tetapi tidak berlaku ungkapan “tujuan menghalalkan segala cara” sebagaimana pernah menjadi sikap penganut paham Komunis; artinya tujuan yang bai harus dicapai dengan cara – cara yang baik pula. Tujuan pendidikan yang berbeda menuntut metode pendidikan ynag berbeda pula.
b.      Lingkungan, suasana, dan fasilitas pendidikan. Lingkungan merupakan factor penting dalam pendidikan, maka pemilihan metode pendidikan juga harus disesuaikan dengan lingkungan di mana kegiaan mendidik dan dididik itu terjadi.lingkungan biasanya terkait erat dengan suasana dan fasilitas yang tersedia. Dengan suasana dan fasilitas yang berbada dituntut cara pendidikan ynag berbeda pula. Misalnya, untuk mendidik anak dari desa diperlukan cara yang berbeda dari mendidik anak kota, demikian pula anak kaya dan yang miskin, untuk lingkungan petani, nelayan, pegawai, buruh dan seterusnya.
c.       System dan kurikulum pendidikan. System pendidikan terkait dengan kurikulum yang digunakan. Dalam system pendidikan ini, Indonesia pernah berlaku jenis kurikulum, termasuk yang terakhir adalah KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP. Dari sitem yang berbeda tersebut, juga pernah menimbulkan model, pendekatan, dan strategi.metode pendidikan yang berbeda, seperti pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), CTL (Contektual Teaching Leaning), Sistem Pembelajaran Terpadu, Pembelajaran Tematis, Pendekatan PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif Menyenangkan) atau PAIKEM (Pembelajatan Aktif Inovatif Kreatif Efektif Menyenangkan). Khusus yang terkait dengan waktu yang tersedia dalam kurikulum, waktu yang berbeda juga , menuntut metode yang berbeda pula, termasuk bila materi yang dididikan sama. Misalnya, metode diskusi, pemberian tugas, penemuan waktu yang menuntut waktu yang lebih lama, sedang metode ceramah tidak baik berlangsung terlalu lama. Untuk waktu pagi – pagi metode ceramah masih efektif, tetapi pada siang hari ceramah harus diselingi dengan humor – humor tertentu.
d.      Kebutuhan anak didik. Perlu ditegaskan kembali bahwa pendidikan merupakan bentuk pelayanan anak didik, terpusat pada kepentingan anak didik, maka metode pun harus sesuai dengan kebutuhan anak didik. Kebutuhan anak didik dalam hal ini diartikan sebagai perkembangan anak didik, kemampuan anak didik, situasi dan kondisi anak didik. Misalnya, untuk taman kanak – kanak digunakan metode bercerita, bernyanyi dan bermain. Metode diskusi, studi babas, penemuan lebih efektif untuk anak tingkat menengah dan perguruan tinggi.
e.       Kemampuan pendidik. Akhirnya keefektifan metode pendidikan sangat tergantung pada kemampuan pendidik. Kemampuan ini dapat meliputi kemampuan untuk menemukan, memfasilitasi, dan melaksanakannya. Metode yang sebaik apa pun, tanpa disertai dengan kemampuan pendidik menyusun situasi permasalahan dan atau permainan bagi anak; metode diskusi menuntut kemampuan pendidik dalam memimpin diskusi dan memecahkan masalah, dan seterusnya.

Dari berbagai pertimbangan dalam memilih metode pendidikan dapat disimpulkan bahwa (a) ada banyak jenis atau macam metode dalam pendidikan yang masing – masing memiliki ciri khas, (b) karena sifatnya yang khas, setiap metode berlaku secara spesifik atau khusus, artinya untuk waktu, situasi dan kondisi, materi dan tujuan tertentu dan diperlukan metode yang cocok, (c) karena cirri khas yang berlaku secara spesifik maka tidak ada metode yang paling baik dalam semua jenis waktu, situasi, kondisi, materi dan tujuan pendidikan, (d) pendidik harus memahami karakteristik setiap metode dan mampu memilih serta menerapkannya secara baik, dan (e) penerapan metode pendidikan itu memiliki sifat “seni” bukan “resep”, artinya tergantung pada kemampuan individu pendidik, untuk metode yang sama bagi pendidik yang berbeda memiliki keefektifan yang berbeda pula.
3.      Macam – macam metode pendidikan
a.       Metode Pendidikan. Metode ini terkait dengan pendidikan arti umum, maka juga dapat disebut sebagai metode umum pendidikan. Metode ini dikuasai oleh semua pendidik tradisional, lewat pengalaman, tidak memerlukan pendidikan dan latihan khusus. Metode ini yang digunakan oleh orang tua sebagai pendidik yang utama dan pertama. Orangtua memperoleh kemampuan mendidik anak mereka secara turun temurun dalam keluarga. Metode pendidikan dalam keluarga ini utamanya berupa pembiasaan dan peneladanan. Metode pembiasaan dan peneladanan, dalam batas – batas tertentu, juga digunakan dalam pendidikan formal (di sekolah) dan non formal (di masyarakat).
b.      Metode Pengajaran. Metode ini yang digunakan dalam pendidikan formal di sekolah. Pendidik, khususnya guru, perlu mempelajari metode pembelajaran. Metode pengajaran terkait erat dengan ilmu mengajar pada umumnya (didaktik) dan ilmu cara mengajarkan mata pelajaran tertentu (metodik). Didaktik dan metodik tercakup dalam ilmu mendidik (pedagogic), yang dalam UU Guru dan Dosen masuk kategori kompetensi pedagogic.
c.       Metode Penelitian Pendidikan. Metode ini termasuk metode pendidikan khusus yang digunakan untuk menilai pelaksanaan program pendidikan. Metode penelitian pendidikan selain untuk mengevaluasi pelaksaan program pendidikan, sejauh mana pelaksanaan pendidikan telah mencapai tujuan yang ditetapkan, juga untuk mengembangkan pendidikan itu sendiri. Yang termasuk dalam metode penilitian penelitian pendidikan antara lain survey dan eksperimen dengan alat ukur seperti tes, wawancara, observasi, dan kuisioner. Metode penelitian pendidikan tidak akan dibicarakan lebih lanjut di sini melainkan sebagai mata kuliah tersendiri.
4.      Metode Pengajaran
a.       Ceramah
Metode ceramah atau kuliah, juga disebut straegi guru bicara. Metode ini sesuai untuk mengajarkan fakta – fakta itu sendiri diperlukan dalam kehidupan. Ceramah mampu menantang imaginasi setiap pelajar, membangkitkan keingintahuan, mengembangkan semangat inkuri, dan mendrong kreativitas. Metode ceramah, dengan berbagai bentuknya, telah dipergunakan sejak lama sebelum masehi. Kemudian, dalam pertengahan kedua abad ke – 5, Kaum Sofis Yunani Kuno menggunakan ceramah sebagai pembelajaran berpikir cermat. Kata “ceramah” itu sendiri berasal dari kata Latin legoyang berarti “membaca”. Selanjutnya, lego secara umum diberi arti “mengajar”, dan bentuk pengajaran mencatat, dan sering disebut sebagai “metode ceramah”. Definisi yang terakhir tentang ceramah modern adalah suatu metode mengajar dengan hal mana guru memberikan paparan lisan tentang fakta-fakta dan prinsip-prinsip.
b.      Diskusi
Melalui diskusi pelajar dapat memperoleh keuntungan dari kontak pemikiran guru dan juga dengan pelajar lain. Metode ini membantu guru untuk memfasilitasi kedua-duanya.
Sesungguhnya orang mulai berdiskusi sejak mereka mulai berbicara. Tetapi sebagai suatu metode pengajaran formal metode diskusi digunakan sejak peradaban Yunani dan Romawi kuno. Metode diskusi diberi batasan sebagai suatu kegiatan dalam hal mana orang berbicara bersama dalam rangka memberikan informasi tentang suatu pokok pembicaraan atau masalah, atau untuk mencari jawaban tentang masalah berdasarkan atas semua bukti yang memungkinkan. Dalam hal ini mencakup berbagai kategori diskusi, yaitu diskusi seluruh kelas, diskusi kelompok kecil, diskusi terpimpin, diskusi bebas, diskusi tak terpimpin.
c.       Latihan dan Praktik
Metode ini untuk meyakinkan hasil pembelajaran khusus yang menggunakan kreativitas guru untuk meningkatkan perhatian siswa yang menyenangkan. Sebagai prosedur belajar, latihan sering dibedakan dengan praktik. Latihan berkenaan dengan perasaan mendalam (fiksasi) tentang asosiasi khusus untuk mengingat secara otomatis dan prakik berkaitan dengan peningkatan. Misalnya, latihan mengucapkan, dan praktik menuliskan. Guru perlu mencai cara dalam menggunakan latihan dan praktik untuk membantu siswa memperdalam atau memperbaiki keterampilan motorik yang mendasar, kebiasaan, keterampilan mental untuk menjadikannya lebih bermakna, tepat dan bermanfaat.
d.      Belajar Bebas
Merupakan suatu strategi yang penting dalam pembelajaran yang menganjurkan pemakaian penuh berbagai lingkungan belajar. Dulu orang berpendapat bahwa metode belajar bebas hanya dapa digunakan bagi anak yang berbakat secara akademik. Tetapi sekarang, banyak pendidik sepakat bahwa belajar bebas dapat digunakan bagi semua anak, baik yang berbakat akademik maupun yang kurang berbakat.
Bagi para pelajar, belajar bebas dapat hanya terbatas pada penambahan pengetahuan melalui pencarian jawaban terhadap masalah – masalah yang diberikan guru. Metode ini memberikan keberhasilan yang berbeda – beda, tetapi dapat berlaku bagi para siswa dalam semua usia dan tingkat kemampuan yang bermacam – macam dan dapat lebih berhasil dari kelas yang tidak menggunakan metode tersebut.

Kamis, 16 Juni 2011

Pendidikan Nasional yang Bermoral


Oleh: Arista Deliangga, NIM. 6101410021

Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.
            Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?
            Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.
PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
            Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.
            Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.
Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).
Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.
Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.
Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.
Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.
Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?
Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.
Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.
Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.

PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
            Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.
            Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.
            Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?
            Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.
            Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.