Sistem pendidikan Indonesia, sepertinya tidak pernah kering dengan pemberitaan yang menyita perhatan kita. Beragam tontonan kasus yang membuat kening kita berkerut, membuktikan bahwa fondasi sistem pendidikan nasional kita memang sangat keropos. Mulai dari kasus gagalnya puluhan bahkan ratusan siswa untuk melanjutnya sekolah hanya karena mahalnya biaya, hingga kasus korupsi pendidikan serta praktek ketidakjujuran (contek massal), yang sekarang sedang hangat diperbincangkan dimana-mana.
Ibu Siami,demikian nama yang sangat populer, paling tidak seminggu belakangan ini. Keberaniannya dalam membongkar kasus contek massal saat pelaksanaan Ujian Nasional bulan Mei lalu. Warga Jl Gadel Sari Barat, Kecamatan Tandes, Surabaya ini, tidak menerima ketika Guru SDN Gadel 2 Surabaya memaksa anaknya Alif, untuk memberikan contekan kepada murid lainnya disekolah tersebut. Walhasil, Ibu Siami akhirnya melaporkan Guru tersebut ke Dinas Pendidikan setempat, yang pada akhirnya mendapat perhatian yang cukup luas dari media dan masyarakat. Tindakan Ibu Siami tersebut, berdampak pengusiran dirinya dari kampung halaman, akibat desakan warga yang tidak menerima jika anak mereka harusnya tidak lulus ujian akibat kaporan Ibu Siami tersebut.
Akan tetapi jika kita menyimak dengan seksama kasus Ibu Siami dan anaknya Alif tersebut. Pertama, bahwa kasus Ibu Siami ini cenderung hanya ditempatkan pada persolan prilaku dan moralitas semata. Dimana media dan pemberitaan, hanya memposisikan kasus ini kepada kejadian contek massal yang terjadi di SDN 2 Gadel, Surabaya tersebut. Padahal jika kita ingin menelisik lebih jauh, sesungguhnya prilaku contek massal merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan dari gagalnya sistem penddikan kita di dalam membentuk dan membangun karakter murid. Permasalahan ini seharusnya didudukkan pada aspek kritik terhadap penataan dan pengelolaan sistem pendidikan nasional, yang mencakup pola pengajaran, kurikulum serta sisi ekonomisnya. Tidak semata-mata menonjolkan tindakan contek massal, namun justru menafikan pola dan sistem yang membangunnya.
Kedua, jika kita menarik garis lurus, maka akar persoalan sesungguhnya dari kasus Ibu Siami ini adalah, ketidakmampuan sistem pendidikan kita dalam mencapai sasaran dan tujuan pendidikan sebagai media mencerdasakan anak Bangsa serta membangun mental dan watak yang unggul dalam segala hal. Dan tentu saja, evaluasi kita akan berujung kepada siapa yang harus bertanggung jawab akan kegagalan tersebut. Memang benar, secara sosial itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Namun demikian, Negara melalui Pemerintah seharusnya mendapat porsi pertanggung jawaban yang 1000 kali lebih besar. Namun justru ini yang seakan kita lupakan, dimana mata bedil kasus contek massal ini hanya mengarah kepada Guru dan masyarakat yang mengusir Ibu Siami.
Seharusnya kasus contek massal tersebut, juga menjadi bagian dari tanggung jawab Pemerintah, akibat gagalnya pola dan sistem pendidikan yang diterapkan selama ini.
Anehnya, justru tudingan ini bahkan sama sekali tidak menyentuh pihak Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional. Lebih jauh, dalam sebuah kesempatan, Menteri Pendidikan Nasiona, M. Nuh dengan entengya menyimpulkan bahwa Pelaksanaan Ujian Nasional di SDN 2 Gadel, Surabaya tersebut, tidak terjadi contek massal sebagaimana yang dilaporkan oleh Ibu Siami. Ini jelas merupakan upaya Pemerintah untuk lepas tangan dari kasus tersebut. Sebuah situasi yang sangat ironi, dimana pihak yang paling berwenang-pun, justru berusaha lari dari tanggung jawab yang ditugaskan dan diamanahkan dalam konstitusi kita.
Pemerintah memang cenderung terlihat bebal dengan kritikan. Misalnya saja soal desakan penolakan atas Ujian Nasional sebagai patokan tunggal dalam penentuan kelulusan siswa. Bukankah kritikan ini sudah muncul sejak beberapa tahun yang lalu? Namun Pemerintah tetap kekeuh untuk tetap melakukan praktek pola dan sistem yang kurang lebih sama. Ujian Nasional pada akhirnya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi siswa. Bahkan dapat kita pastikan, bahwa peristiwa contek massal yang terjadi di SDN 2 Gadel, Surabaya dan sekolah lainnya tesebut, adalah buah dari ketakutan besar pada siswa, yang begitu khawatir tidak lulus yang akhirnya dianggap aib dilingkungannya. Seharusnya ini menjadi perhatian serius dari Pemerintah, jika tidak ingin pendidikan dan kualitas generasi kita semakin jauh tertinggal dari Negara lain. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, dan tentu saja terutama bagi Pemerintah yang hinggal kini gagal dalam mengemban amanah tersebut.
Lalu siapa ibu siami? jika kita sadar, beliau adalah petasan bagi kita. Yang menunjukkan perlunya sistem karakter yang selama ini ada diperbaiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar